Kamis, 17 Agustus 2017

About 13 Reason Why

Hellooooo!!! It's been awhile right?

So, disini aku mau bahas soal series yang akhir-akhir ini jadi perbincangan hangat. Heboh juga sih, beritanya udah dimana-mana juga, yang dikarenakan  series ini mengangkat issue soal bunuh diri. Hemm, agak bikin cringe worthy gitu ya. 

Rencananya sih mau bikin review ala-ala gitu, tapi menyadari bahwa skill menulis masih belum memumpuni dan sepertinya review ini tidak akan menjadi review melainkan wadah curhat so, I'm not gonna saying this is as review ya. 

13 Reason Why, setahu aku series ini diangkat dari novel yang berjudul sama 13 Reason Why juga. Belom sempet baca novelnya karena baru tahu ada novelnya pas udah nonton series ini jadi mungkin baca novelnya kapan-kapan aja. Tapi, berdasarkan review temen twitter series dan novelnya tidak terlalu jauh alur ceritanya dan malahan di series ditambahkan detil-detil untuk melengkapi alurnya.

Kenapa bisa aku nonton series ini, setelah berminggu-minggu tangled into Thai series yang unyu dan receh? Jawabannya adalah karena beberapa selebtwit di twitter yang ngomongin ini di twitnya dan kemudian membuatku penasaran! Emang ku sebenernya bukan orang yang anti spoiler sih, malah suka nyari spoiler gitu, apalagi 13 Reason Why ini, kemarin-kemarin dapet spoilernya nggak terlalu banyak tapi udah bikin penasaran banget ini series tentang apa sih bisa bikin orang-orang pada ngomongin gitu.  Dan aku pun berakhir mencari link streaming buat nonton series ini. Iya streaming bukan download, mengingat memory laptop yang udah banyak merahnya (iykwim). 

13 Reason Why bercerita tentang Hannah Baker yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dan sebelum ia membuat keputusan tersebut, ia merekam secara diam-diam alasan mengapa ia bunuh diri dan orang-orang yang ia rasa bertanggung jawab atas keputusannya itu. Pada intinya series ini menceritakan soal itu namun dari sudut pandang Clay Jensen, teman Hannah semasa ia masih hidup. 

Nonton series ini kalau dari awal sebenernya menimbulkan beberapa pertanyaan such as 'ini cerita mau dibawa kemana, sih?' 'what will we found out on the next episode?' dan sebagainya dan sebagainya. 

Tidak mau membahas itu terlalu banyak, soalnya ya di review-review lain pasti udah banyak ngebahas sih. Paling aku ngebahasnya soal beberapa scene yang related dengan kehidupanku sendiri hahahahaha

Yang pertama adalah cerita dimana Hannah 'ditinggalkan' oleh kedua sahabatnya. Seperti yang diduga yes, tepat sekali. aku mengalaminya sendiri. Tapi bukan dua orang sih, cuma seorang aja. And I was so depressed at those moment. Mungkin bagi kebanyakan orang bakal yang apasih ditinggal temen aja sampai segitunya? kayak temen nggak banyak aja? Really guys you never be on my side. Mungkin emang ini cuman jadi pembelaan diri aja kali ya karena memiliki mental yang sangat lemah, tapi memang ketakutan terbesarku adalah ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarku. Dan aku bukan orang yang gampang menaruh rasa percayaku ke siapa saja semudah itu, aku bukan orang yang terbuka akan diriku yang sebenarnya, dan aku sudah merasa sedekat itu dengannya, tapi ia memilih pergi. Dulu... Sekarang sih enggak. :)

Waktu itu, aku selalu bilang sama diri aku sendiri bahwa 'semua bakal baik-baik aja, ka. semua bakal baik-baik aja' in fact? enggak. walaupun di luar aku terlihat baik-baik saja di dalam aku nggak sekuat itu. mungkin terdengar lebay tapi hampir tiap malam rasanya sesak. kayak apapun yang coba aku lakuin, aku ketawa, aku jalan-jalan, aku nonton drama-drama sereceh itu pun, aku tetep nggak bisa ngehapus suatu bagian yang kosong itu dari kepalaku. iya kosong. karena entah kenapa ketika aku ditinggalkan rasanya ada banyak tempat yang kosong dan aku bingung gimana cara mengisinya lagi.

Mungkin ini juga yang dirasain sama Hannah, yes I can relate. Hannah mungkin terkesan sangat tidak dewasa dengan cara pikirnya. tapi itu benar kawan. ada orang-orang yang mendapatkan masalah sekecil itu dan dia sudah merasa sangat tertekan.

Being abandoned are the worst part.

Tapi semua itu udah berlalu sih ya. pada akhirnya kami bareng-bareng lagi. Dan rasanya beban yang selalu aku bawa selama 1 semester kemarin hilang gitu aja pas kami udah bareng-bareng kayak gini. Syukurlah kami bisa bareng-bareng kayak dulu lagi dan bisa dengan kepala dingin saling ngomong dari hati ke hati. Aku yakin aku selalu dikelilingi oleh orang-orang baik, jadi kalaupun ada beberapa pihak yang mengasumsikan bahwa sahabat-sahabatku bukan orang baik ya itu terserah mereka saja lah, bukan mereka yang selalu ada di sampingku ketika aku dalam masa-masa terpuruk. bukan mereka yang ada di sampingku saat aku membutuhkan tangan untuk menarikku bangkit.

Yaaa sebebas kalian sajalah.  Bilang aku naive or what, I don't care anymore. as long as we being together it's enough for me.

Yang kedua itu dimana banyak orang yang membicarakan Hanah di belakangnya. chill meeen~~~ bagi orang-orang yang overthinking dan over reacting seperti aku dan Hannah dibicarakan oleh orang lain di belakang itu adalah hal paling nggak ngenakin. iya aku emang seover thinking itu anaknya, sampai imbasnya waktu itu aku memutuskan untuk berhenti menggunakan instagram karena kalau aku pake instagram rasanya hati aku nggak tenang melihat orang-orang itu yang tertawa-tawa bahagia memamerkan kebahagiaan mereka.

anggap aku iri. tapi iya waktu itu rasanya aku iri, dengki, nggak suka, dan rasanya pengen ngumpat ke akun mereka satu-satu. tapi ya nggak bisa. akhirnya aku cuma diam. dan memutuskan untuk lari. menghilang dari kehidupan sosmed.

mungkin persamaanku dengan Hannah adalah kami sama-sama memiliki kecenderungan overthinking dan over reacting terhadap suatu hal yang terjadi. Dan kesamaan selanjutnya adalah kami sama-sama suka  lari. Lari dari masalah yang seharusnya bisa dihadapi. Aku lari dari kehidupan sosialku dan terus mengurung diri dengan semua pikiran-pikiran negative. Aku bilang itu adalah waktu-waktuku dimana aku merenungkan semuanya. Waktu memang memberikan wadah untukku memikirkan semuanya, aku harus tenang, aku harus bisa kembali berpikir positif, aku tidak harus mendengarkan kata-kata yang menyakitkan hati dan telinga.

Someone said, "screw it!" and finally I'm back into my own path.

Mungkin, mungkin saja jika di saat-saat itu Hannah memiliki orang-orang yang selalu ada di sampingnya, untuk mendengarkan keluh kesahnya, untuk menghilangngkan pikiran-pikiran negatifnya. Sperti aku di waktu terberatku kala itu.  Mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti di series. Tapi, kalau gitu nggak akan pernah ada 13 Reason Why dong hahahha

Yang selanjutnya adalah cerita dimana kondisi keluarga Hannah yang biasa-biasa saja seperti keluarga pada umumnya. Tapi, ya kita bisa memaklumi itu kan? Keluarga tidak harus yang selalu bangun pagi di pagi hari sama-sama sarapan di meja makan dengan segelas susu pagi yang tersedia kemudian dilengkapi ucapan selamat pagi yang saling bersaut-sautan, bukan? Itu sih prolog pagi hari yang selalu digunakan di cerita-cerita teenlit jaman sekarang hahahaha.

Keluarga Hannah adalah keluarga yang biasa-biasa saja, sama dengan keluargaku yang biasa-biasa saja. Kedua orang tua kami sibuk bekerja, walaupun hanya toko kecil tapi tetap saja fokus mereka akan lebih kesana.

Sebenarnya bukan suatu hal yang besar tapi mengingat banyak orang yang selalu menyangkutpautkan alasan seseorang bunuh diri dengan kondisi keluarganya? ya memang bisa jadi, kurang komunikasi. ya bagaimana kami mau saling ngobrol tau menceritakan kegelisahan kami ke orang tua, sedangkan melihat mereka bekerja keras setiap harinya saja sudah sangat melelahkan. Jadi yang bisa kami lakukan ya hanya diam dan bilang pada mereka bahwa 'ya, nggak papa. Ada yang bisa dibantu nggak pah? mah?'

Dan yang terakhir adalah pelecehan seksual yang sayangnya terjadi di hidup Hannah. Yup, I've been there, tapi lebih beruntung dari Hannah karena aku bisa menyelamatkan diriku terlebih dahulu. Dan kejadian-kejadian itu tidak hanya sekali dua kali, tapi sudah 3 kali atau lebih malah. Dan itu terjadi saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Meski pun begitu masih ada sisa-sisa rasa traumatis yang ada di diriku. Sampai saat ini aku nggak pernah pacaran, entah karena trauma itu atau memang aku belum menemukan seseorang yang tepat saja. tapi, kadang ada sisi di dalam diriku yang merasa takut dengan laki-laki, I'm still like guys, ofc. tapi aku masih punya ketakutan itu di dalam diriku.

Jadi, yang ingin aku bilang aku yang mendapatkan perlakuan seperti itu walau tidak sampai sejauh yang terjadi pada Hannah saja efeknya bisa sampai selama ini? lalu bagaimana dengan Hannah? ya, di situlah titik dimana Hannah sudah tidak bisa lagi menjalani semuanya.

Disini aku bukan mau bilang bahwa apa yang dilakukan oleh Hannah itu benar. No, not at all. apalagi dengan adanya beberapa artikel yang bilang bahwa 13rw itu sangat meromantisasi bunuh diri. Ya itu terserah mereka saja. poin ku disini adalah bahwa depresi itu memang benar adanya. ada pemicunya. dan ketika pemicunya sudah cukup kuat dan tubuh sudah tidak kuat menahan semuanya lagi, those suicidal thought could be happened as  suicidal act. 

Aku pernah ada di suatu tahap dimana aku ingin semuanya berakhir saja. Aku sudah lelah dan entahlah aku terlalu takut menghadapi masa depan yang masih sangat tidak jelas di depan sana. Takut mengecewakan orang tuaku, takut mengecewakan keluargaku, taku mengecawakan orang-orang di sekitarku. Dan ketakutan terbesarku adalah takut mengecewakan diriku sendiri. Aku sering berpikir kenapa aku harus hidup jika aku hanya bisa membuat orang-orang di sekitarku merasa risih akan kehadiranku, kenapa aku harus menjadi seseorang yang tidak mereka sukai? Why I'm not lovable enough to loved by others? Tapi aku sendiri sadar bahwa kita hidup nggak harus pleased anyone tho, why bothered about what people thinking? so here I'm.... trying to happy and live.


13rw meskipun dengan semua pro dan kontra yang mengiringinya aku lebih mengambil poin bahwa kita harus lebih aware sama lingkungan kita. bisa jadi aku, kamu, dia, mereka, atau siapapun itu jadi alasan kenapa seseoirang itu seneng atau sedih. cobalah lebih peka terhadap lingkungan and don't be an ignorance.

Self awareness itu penting. kalau misal kamu nggak bisa mencari orang-orang yang bisa nyelametin kamu. cobalah buat nyelametin diri kamu sendiri. nggak akan ada yang bisa nyelametin diri kamu sendiri kecuali diri kamu sendiri. 

seperti biasa.. Keep Shining Baby~

Jumat, 20 Januari 2017

Catatan ke 22

Aaaannddd helloooww twentytwooo !!!

Aim twentituuu uhu u uuu...

"Did you feel old enough?",  said someone on my head.

Jadi, ya sekian lama ku tak menulis apa-apa di blog and boom!! I just tryin' to make notes for MY 22!!! Padahal ini bukan catatan ke 22 beneran sih,cuman gara-gara nambah umur jadi 22 aja makanya judulnya dibikin gitu, memang tidak kreatif kau ka..

Kenapa sih dengan 22? Ada apa dengan 22 sampe musti banget bikin 'sebuah catatan' utuk 22? Segitu spesialnya ya si 22?

Aaaaand the answer is..... No.

 Nggak kog biasa aja. Ya kayak tahun-tahun yang lalu aja gimana. Pergantian umur setiap tahunnya emang sama aja kan? Bedanya ya kesempatan buat hidup di dunia semakin berkurang aja :)))))

Mau curhat aja lah yaaa tentang nggak enaknya jadi anak yang lahir pas banget di bulan paling awal dalam kalender tahunan. Iya  si Januari, dan entah bagaimana diri ini punya kecenderungan untuk membenci bulan ini. Upz! I don't mean it, I can't help it.

Di saat orang-orang lagi seneng-senengnya  dengan pergantian tahun yang selalu diselingi  quotes 'New Year, New Me'-nya, dengan perumpaan membuka lembaran baru di buku catatan kehidupan mereka, saya sendiri malah sibuk menghitung mundur D day pergantian umur

Bukan karena takut menjadi lebih tua setiap tahunnya (walaupun itu juga menjadi alasan salah satunya) tapi lebih dari itu. Ketika dihadapkan dengan urusan: kedepannya mau gimana dan apa yang bisa diperbuat di waktu yang sudah semakin singkat ini?

Pemikiran tentang masa depan yang masih kabur di pandangan mata memang rasanya sangat menyesakkan ya..

Akhir-akhir ini semakin ditekan oleh kedua orang tua untuk mengikuti jejak mereka. Iya memang yang mereka inginkan adalah anak perempuan satu-satunya tidak 'rekoso' di jalan hidupnya, tidak seperti mereka yang harus melalui titik terendah dalam kehidupan. Tapi rasanya salah jika aku hanya mendapatkan semuanya dari mereka tanpa perjuangan apapun, katakanlah gengsiku memang setinggi gunung, tapi tidakkah mereka mengerti?

Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpi yang pernah aku rangkai? Memang kenyataanya semakin kemari mimpi itu semakin terasa jauh, entah memang karena aku yang tidak ada semangat untuk  mengejar, atau memang ya segini lah yang bisa aku lakukan? Semakin berada di tingkat akhir masa kuliah kog ya bukannya semakin terang malah semakin ngeblur? Ditambah dengan orang-orang di belakangku yang tidak mau 'melepaskanku' kenapa rasanya semakin berat saja ya?

Dan umur yang semakin bertambah angkanya ini membuat pertanyaan-pertanyaan basa basi busuk di dalam keluarga besa semakin santer terdengar. Kalo kemarin-kemarin sih baru "mana pacarnya?" "pacarnya dibawa lah kesini sekalian" kemudian bertranformasi menjadi "kamu kapan nikahe, nduk?".

Damn!

Tapi ya ini sih yang musti dihadapi. Harus siap. Siap mental, fisik, jiwa raga. Dan mengusahakan untuk tidak baper di setiap kumpul keluarga besar.

Oh, this is on my mind tho. Menceritakan tentang satu tahun belakangan. Satu tahun kemarin adalah tahun yang paling berat. Yup! 2016 are suck! Indeed. Dan ku benar-benar merasakannya di tahun kemarin. Kuliah yang berantakan, skeptis dengan para dosen, perang dingin sama temen kos (di kos yang lama sih), difitnah atas kesalahan yang nggak pernah dilakuin, drama 2 kubu dalam kelas, bahkan sampai drama di himpunan.

Tapi memang segala hal yang terjadi kemarin memang seperti tamparan keras, rasanya memang baru disadarkan akan kenyataan, bahwa ya hidup memang nggak se-woles itu, kadang ya hal-hal kayak gitu kan yang bikin kita sadar dan semakin berusaha menjadi lebih baik lagi?

Somehow, pergantian umur menuju 22 ini memang terkesan biasa-biasa saja, entah memang biasa-biasa saja atau berusaha dengan sangat agar terlihat biasa-biasa saja. Tapi memang aku merasa biasa, sangat berbeda ketika pergantian umur dari umur belasan menjadi kepala dua, dari 19 menuju 20, it was the hardest tho. And idk why, hal-hal yang ku namai sendiri dengan 'syndrom kepala 2' hit me so hard at that time. Terimakasih banyak untuk 20 tahunku, di 2 tahun yang lalu, aku bisa melewatimu dengan aman dan nyaman dengan tidak banyak gangguan sana-sini.

Dan bagaimana dengan 22 tahun? I didn't expect too much tho, I don't wanna disappointed in the end. Yeah I'm such a Hypocrite here. Saya hanya berharap segala ketakutan di awal tadi tidak akn menjadi sebuah hambatan besar untuk melewati 22 tahun.


And  in the end of the words, Congrats for one step closer towards Death ka.... Have a nice dream :)))


*Catatan ini ditulis dari 23:24 dan selesai di  0:22, 20 Januari 2017 (tapi masih edit sana-sini, makanya publishnya rada telat gityuuu waks 😊)

P.S silahkan dengarkan lagu mbak Taylor ini, ya walupun isi catatan sama lagunya tidak saling bersinggungan masih wajar lah yaa kalo diattach di mari hahaha  ðŸ˜‰